Kenakalan Remaja
Kenakalan
remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku
menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena
terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun
dari nilai dan norma social yang berlaku.
Perilaku menyimpang
dapat dianggap sebagai sumber masalah karena
dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku
menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus
ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk
mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku
menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si
pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang
menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal
yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang
melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan
untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk
berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti
mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada
kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab
orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk
menyimpang.
Masalah
sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa
melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi,
perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil
dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di
kalangan anak dan remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku
menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak
layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari
transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya.
Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi
sosial
tersebut dapat termanifestasikan dalam
beberapa hal.
Proses
sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan
menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan
pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan
kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat
yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat
kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian
wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar,
overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk
yang tidak stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu
di Pondok Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen
diatas. Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk
menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung
devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang
teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk
menumbuhkan tindakan kriminal.
Mengenai
pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang
bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial
sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat
menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami
gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan
mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang
disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan
surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku
menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang
biasa dan wajar.
TUJUAN
PENELITIAN
- Mengidentifkasi dan memberikan gambaran bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja di pinggiran kota metropolitan Jakarta, yaitu di kelurahan Pondok Pinang.
- Untuk mengetahui hubungaanan aaantara kenakalan remaja dengan keberfungsian sosial keluarga
- Penelitian ini ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah kenakalan remaja dengan memanfaatkan keluarga sebagai basis dalam pemecahan masalah
METODE
PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan metode
ini karena penelitian yang dilakukan ingin mempelajari masalah-masalah dalam
suatu masyarakat, juga hubungan antar fenomena, dan membuat gambaran mengenai
situasi atau kejadian yang ada. Cara pemilihan sampel yang dilakukan pertama
memilih wilayah yang mempunyai kategori miskin, dengan cara melihat kondisi
mereka yang perumahannya di bawah standar, dengan kondisi penduduk yang sangat
padat, lingkungan yang tidak teratur dan perkiraan tingkat kesehatan
masyarakatnya yang buruk. Setelah itu konsultasi dengan ketua RW dan
ketua-ketua RT untuk mencari informasi tentang warganya yang dianggap telah
melakukan kenakalan, dengan perspektif labeling. Dari informasi tersebut data
pada tiga RT. Berdasarkan data tersebut kita jadikan populasi dengan jumlah 40
remaja dan keluarga yang akan dijadikan unit dalam analisis. Dari jumlah
tersebut dibuat listing dan tiap RT diambil 10 sampel (remaja dan keluarga)
sehingga mendapat 30 responden. Pengambilan sample ini dengan cara
random.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dipandu dengan
daftar pertanyaan.
Responden
remaja dalam penelitian ini ditentukan bagi mereka yang berusia 13 tahun-21
tahun. Mengingat pengertian anak dalam Undang-undang no 4 tahun 1979 anak
adalah mereka yang berumur sampai 21 tahun. Dengan pertimbangan pada usia
tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya; krisis identitas,
kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah,
konflik mental dan terlibat kejahatan (lihat transaksi individu-individu dan
keluarga-keluarga dengan sistem kesejahteraan sosial).
KERANGKA
KONSEP
Konsep
Kenakalan Remaja
Pada
dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak
sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988
: 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial.
Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah
masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu
kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku
pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku /
tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta
ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Singgih
D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan
dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1)
kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam
undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran
hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai
dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar
hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985)
membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti
suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit
(2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai
mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus
seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll.
Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.
Tentang
normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan
dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa
perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap
sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method”
dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin
menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh
perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku
tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan
yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu
perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada
masyarakat.
Keberfungsian social
Istilah
keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan
kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan
sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan
beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu
sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap
efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya,
menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam
melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi social
tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya
mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian
sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta
adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya,
dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan
adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi
terhadap anggota keluarganya.
HASIL
PENELITAN
Bentuk
Kenakalan Yang Dilakukan Responden
Berdasarkan
data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang kenakalan remaja
sebagai salah satu perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial
keluarga di Pondok Pinang pinggiran kota metropolitan Jakarta. Adapun ukuran
yang digunakan untuk mengetahui kenakalan seperti yang disebutkan dalam
kerangka konsep yaitu (1) kenakalan biasa (2) Kenakalan yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan dan (3) Kenakalan Khusus. Responden dalam penelitian
ini berjumlah 30 responden, dengan jenis kelamin laki-laki 27 responden, dan
perempuan 3 responden. Mereka berumur antara 13 tahun-21 tahun. Terbanyak
mereka yang berumur antara 18 tahun-21 tahun.
Bentuk
Kenakalan Remaja Yang Dilakukan Responden (n=30)
Bentuk
Kenakalan
|
F
|
%
|
|
30
30 28 26 17 2 10 5 7 5 21 19 25 5 12 14 8 3 2 1 10 5 22 1 |
100
100 93,3 98,7 23,3 56,7 6,7 33,3 16,7 23,3 16,7 70,0 63,3 83,3 16,7 40,0 46,7 26,7 10,0 6,7 3,3 33,3 73,3 3,3 |
Bahwa
seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan
biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya,
keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan dan jenis
kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran
dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan,
mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan
pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks
di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta
menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari
mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal
ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga,
maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari
yang semakin kompleks.
Hubungan
Antara Variabel Independen dan Dependen
Hubungan
antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan
Salah
satu hubungan variabel yang disajikan disini adalah hubungan antara jenis
kelamin dengan tingkat kenakalan. Hal ini untuk mengetahui apakah anak
laki-laki lebih nakal dari anak perempuan atau probalitasnya sama. Berdasarkan
tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut; Anak laki-laki yang melakukan
kenakalan biasa 3 responden (10%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan 2 responden, dan kenakalan khusus 22 responden (73,3%). Sedangkan
anak perempuan yang melakukan kenakalan biasa 2 responden (2,7%) dan kenakalan
khusus 1 responden (3,3%).
Kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar yang melakukan kenakalan khusus
adalah anak laki-laki (73,3%), namun terdapat juga anak perempuannya. Kalau
dibandingkan diantara 27 responden anak laki-laki 22 responden (81,5%)
diantaranya melakukan kenakalan khusus, sedangkan dari 3 responden perempuan 1
responden (33,3%) yang melakukan kenakalan khusus, berarti probababilitas anak
laki-laki lebih besar kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus.
Demikian juga yang melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan, anak perempuan tidak ada yang melakukannya. Dengan demikian maka
anak laki-laki kecenderungannya akan melakukan kenakalan yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan.
Hubungan
antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Berdasarkan
data yang ada, pekerjaan responden adalah sebagai pelajar dan tidak bekerja
(menganggur) masing-masing 13 responden (43,3%), sebagai buruh dan berdagang
masing-masing 2 responden (6,7%). Dari tabel korelasi persebaran datanya sebagai
berikut; Pelajar yang melakukan kenakalan biasa 5 responden (16,7%), kenakalan
yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden (6,7%), dan kenakalan
khusus 6 responden (20%) . Sedangkan mereka yang tidak bekerja (menganggur)
semuanya 13 responden melakukan kenakalan khusus, juga mereka yang bekerja
sebagai pedagang dan buruh semuanya melakukan kenakalan khusus. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan untuk melakukan kenakalan khusus
ataupun jenis kenakalan lainnya adalah mereka yang tidak sibuk, atau banyak
waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif.
Hubungan
antara tingkat pendidikan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Seharusnya
semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan.
Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya
mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh
dilanggar. Atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang
harus dikerjakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka yang tamat
SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%)
yang berarti separoh lebih, dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan
kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa.
Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP, dari 12 responden, 11
responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus. Sedang mereka yang hanya tamat SD
1 responden juga melakukan kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada
hubungan antara tingkatan pendidikan dengan kenakalan yang dilakukan, artinya
semakin tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan
kenakalan. Artinya di lokasi penelitian kenakalan remaja yang dilakukan bukan
karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan
dari SD sampai dengan SLTA proporsi untuk melakukan kenakalan sama
kesempatannya. Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang disebutkan
di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan
positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya
atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.
Hubungan
Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga
Dalam
kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga,
diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi
keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan,
dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
Hubungan
antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan
Untuk
mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan orangtuanya,
artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua dapat
dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal
ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah
mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan
oangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden
(13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%),
montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1
responden (3,3%).
Dari
tabel korelasi diketahui bahwa kecenderungan anak pegawai negeri walaupun
melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi
mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan
wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti
pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh
anak-anaknya. Keadan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih
memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun
kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih
efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada
sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat
dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang
kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.
Hubungan
antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan
Secara
teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya
banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak
utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di
keluarga
Dilihat
dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9
responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi
ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi
anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata
mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan
kenakalan khusus.
Namun
jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka yang
melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang dan
tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang interaksinya
serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya kurang serasi
14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%). Jadi ketidak
berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai
kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi
hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang
dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus.
Hubungan
antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakalan
Kehidupan
beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian
sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi
rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti
mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis
bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka
anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.
Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden
(20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9
responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang
keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus. Dengan
demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan
kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga
yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan
kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun
kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
Hubungan
antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan
Salah
satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap
orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5
responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12
responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari
tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak
memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang
memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus. Dari kenyataan
tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan anak.
Hubungan
antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan
Keluarga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus
berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan
tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan
ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses
sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan
lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden
(40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi
keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau
lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat
yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat dari 23
responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari dari keluarga yang
interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
Pernah
tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan
interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban
beragama
Data
tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah
tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden
(6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena
kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus
pencurian.
Sedangkan
responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7
responden karena kasus pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus
pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1
bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara
selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden
(10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun .
Dari
responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur
keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama
seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut
ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1
responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa
ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan
dan ditahan serta dihukum.
Analisis
Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja
Setelah
dianalisis secara bivariat antara beberapa variabel, maka untuk melengkapinya
dianalisis secara statistik dengan rumus product moment guna melihat keeratan
hubungan tersebut. Berdasarkan tabel distribusi koefisiensi korelasi product
moment diperoleh data sebagai berikut; nilai x = 510 y = 322 x2 = 9.010 y2 =
3.752 xy = 5.283 hasil perhitungan yang diperoleh = - 0,6022. Sedang nilai r
yang diperoleh dalam tabel dengan taraf significansi 5%, dengan sampel 30
adalah 0,361 Berdasarkan data tersebut karena nilai r yang diperoleh dari hasil
penelitian jauh dari batas significansi nilai r yang diperolehnya berarti ada
hubungan negative antara keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang
dilakukan. Artinya semakin tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan
semakin rendah tingkat kenakalan remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah
keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin tinggi tingkat kenakalan
remajanya.
Dari
uraian di atas bisa dilihat bahwa secara jenis kelamin terlihat remja pria
lebih cenderung melakukan kenakalan pada tinglat khusus, walaupun demilikan
juga remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan
atau kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai
kecenderungan tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang
berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan
kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat
kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh,
tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan
khusus. Demilian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak
serasi anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga
juga berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang
taat menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi
bagi keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka
pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap
orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi
keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi)
terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus. Dan
akhirnya keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga
berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya
dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada
tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan
sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.
Kesimpulan
Berdasarkan
analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak
seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar
kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang.
Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka
kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih
berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka
kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan
khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa ada hubungan negatif antara keberfungsian sosial keluarga
dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian social
keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Sebaliknya
semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin tinggi tingkat
kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh remaja. Berdasarkan
kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua hal
yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial keluarga
melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga
dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi pengembangan
masyarakat secara keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil perilaku
menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi waktu luang,
dengan meningkatkan program di tiap karang taruna. Program ini terutama
diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program pelatihan yang
mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.